Minggu, 06 Juli 2014

Kebijakan yang Menguatkan Monopoli Pemodal

Di akhir masa pemerintahan; SBY mengeluarkan kebijakan yang menguatkan monopoli pemodal (asing) atas SDA dan hajat hidup orang banyak.

(Protes atas diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2014)

      Pada 23 April 2014, SBY telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden No.39 tahun 2014. Perpres ini mengatur tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Perpres ini mengatur ketentuan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang dapat menjadi bidang penanaman modal (asing) termasuk seberapa besar porsi penguasaannya dalam bidang usaha tersebut. Keluarnya Perpres ini menimbulkan pertanyaan besar terkait argumentasi logis yang mendasari pemberlakuannya.
     
     Gunawan selaku perwakilan IHCS menerangkan, “argumentasi dasar dikeluarkannya Perpres ini menimbulkan pertanyaan, apalagi dikeluarkan di masa akhir pemrintahan SBY. Arah Perpres ini juga tidak jelas jika dihubungkan dengan kepentingan rakyat. Seolah hanya menjadi peluang keuntungan bagi pemodal. Kriteria dan persyaratan  bidang usaha terlalu luas dan banyak unsur-unsur yang subjektif di dalamnya. Sebagai contoh, dalam UU PMA, persayaratan pembangunan usaha  memperhatikan aspek tata ruang, lingkungan, dll. Dalam Perpres ini hanya mempertimbangkan  lokasi bidang usaha sebagai persyaratan utama. Hal ini sangat memungkinkan penanaman modal asing, namun tidak mempertimbangkan aspek yang lain.”
  
     Perpres 39 tahun 2014, sedikitnya mengatur 15 bidang urusan kementerian yang terbuka lebar untuk penetrasi modal luar negri. Yang mencengangkan, tidak hanya sektor ril seperti energi, SDA, pelayanan kesehatan yang semestinya diproteksi oleh Negara agar penyelenggaraanya diutamakan untuk kepentingan rakyat. Tetapi, sektor kelola rakyat seperti pertanian pangan yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang dikelola rakyat secara mandiri, kini akan berhadapan dengan kekuatan modal asing. Dengan begitu, petani berlahan sempit akan berisiko tinggi meninggalkan lahan pertaniannya yang saat ini sedang mengalami persoalan pada pemenuhan input pertanian yang tak terjangkau, akan menjadi buruh di lahan pertanian pangan yang berada di desa-desa yang dikelola dengan mekanisme perusahaan yang sudah tentu berorientasi profit.

     Beberapa kalangan juga menganalisis tentang adanya skenario yang kuat dalam memuluskan kepentingan pemodal (asing) dalam monopoli SDA dan pengelolaan sektor-sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak melalui Perpres no.39 tahun 2014. Perwakilan Gabungan Asosiasi Petani Indonesia (GAPI), Yakub mengungkapkan, “setelah pemberlakuan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2007, Perpres 39 tahun 2014 akan membuka  ruang  seluas-luasnya bagi investor asing untuk usaha bidang perkebunan dan pertanian yang tentunya berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Skema ini akan membuat ketergantungan pengusaha kecil/menegah dan petani (rakyat) kepada investor yang lebih besar ataupun investor asing. Apalagi, praktek usaha di Indonesia sejauh ini sangat lemah dalam melindungi usaha kecil/menengah ataupun perlindungan terhadap petani. Di sisi lain, Perpres ini memberikan peluang penguasaan usaha bagi pemodal asing hingga 95%.”

     Perpres ini disimpulkan sebagai bagian dari skenario monopoli kapital global yang berjalan di Indonesia dan telah diberlakukan dalam masa pemerintahan SBY, seperti; Agreement on Agriculture (AoA) paket WTO di Bali, pembangunan konektifitas area dan infrastruktur ala MP3EI, kerjasama sektor pertanian, infrastruktur, dan pajak dalam pertemuan G20. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI menegaskan, “di Indonesia, pengelolaan SDA dan sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat sangat bergantung dengan sistem ekonomi politik yang saat ini sedang berjalan. Perpres no.39 tahun 2014 yang keluar di masa injury time pemerintahan SBY hanya menyempurnakan skenario yang sudah ada. Kita patut waspada karena Perpres ini tidak menempatkan aspek keberlanjutan ekologis sebagai persyaratan utama dalam bidang usaha yang dimaksud. Di sisi lain, investor asing memiliki peluang monopoli usaha dan menciptakan ketergantungan bagi petani/pekebun di Indonesia. Mereka bisa saja mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dan mengabaikan keberlanjutan ekologis.”

      Berdasarkan Perpres ini, untuk bidang usaha perkebunan tanpa unit pengolahan dengan luas 25 Ha atau lebih, penanaman modal asing diizinkan sampai maksimal 95 persen dengan rekomendasi Menteri Pertanian untuk perkebunan Jarak Pagar, Pemanis lainnya, Tebu, Tembakau, Bahan Baku Tekstil, Tanaman Kapas, Perkebunan Jambu Mete, Kelapa, Kelapa Sawit, Perkebunan untuk bahan makanan (Teh, Kopi, dan Kakao), Lada, Cengkeh, Minyak Atsiri, Perkebunan Rempah, dan Perkebunan Karet/Penghasil Getah lainnya. Selain itu, dalam Perpres ini terdapat ruh yang sangat bertentangan dengan prinsip memajukan kepentingan rakyat (negara).

     Menanggapi hal ini, Yayan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga angkat bicara, “kita tidak bisa melepaskan kehadiran Perpres ini dengan keadaan yang ada sekarang, di berbagai wilayah di Indonesia telah terjadi begitu banyak konflik agraria akibat lemahnya perlindungan negara kepada rakyat dalam pengelolaan SDA.  Kita tidak ingin kehadiran Perpres 39 2014 menambah rentetan konflik akibat ketidakadilan pemanfaatan sumber-sumber agraria karena dikuasai oleh segelintir orang (pemodal). Harus ada tindakan konkrit untuk membatalkan Perpres ini.”

     Perpres ini keluar di akhir masa pemerintahan SBY, yang tentunya akan menjadi berita buruk bagi masyarakat Indonesia. “persoalan ini mesti segera dikampanyekan kepada masyarakat luas dan mendesak Presiden agar segera mencabutnya. Upaya hukum juga dapat ditempuh untuk membatalkan Perpres ini. Jika tidak berhasil, maka harus dipastikan Perpres ini mesti menjadi agenda politik yang akan dikerjakan oleh Presiden yang baru,” tegas Kurniawan Sabar.

Daftar Pustaka :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar