Implementasi Kebijakan Agraria Era SBY Salah
Ilustrasi
kondisi hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah.
(Foto: mongabay.co.id)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi Direktur Pembelaan Hak Asasi Manusia
(HAM) untuk Keadilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyu
Wagiman, menilai selama dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), kebijakan agraria yang dibuat lebih berpihak pada korporasi
ketimbang masyarakat adat yang sebenarnya lebih berhak mengelola lahan.
Kebijakan agraria, meskipun ada peraturannya secara tertulis, namun dalam pengimplementasiannya, banyak sekali konflik yang terjadi. Bukan hanya dampak bagi perekonomian masyarakat adat, bahkan timbul masalah sosial dan hukum, di mana banyak petani yang sebenarnya ingin mempertahankan haknya terhadap lahan mereka, justru dikriminalisasi oleh korporasi.
Ditemui dalam acara Seri Kuliah Hak Asasi Manusia “Arah dan Kecenderungan
Konstelasi Politik Pasca Pemilu” di JS Luwansa Hotel, Kuningan, Jakarta
Selatan, Rabu (21/5), dengan melihat ke belakang terhadap kebijakan tersebut,
Wahyu menegaskan bahwa kebijakan agraria yang dibuat pada era pemerintahan SBY
adalah lebih buruk.
Berikut wawancara satuharapan.com dengan pengacara kepentingan
publik lulusan UGM itu.
Satuharapan.com: Bagaimana
kinerja eksekutif selama 10 tahun terakhir dalam implementasi kebijakan
agraria?
Wahyu Wagiman: Ada dua hal yang perlu
diperhatikan, pertama, Undang-undang (UU) Pengelolaan Agraria No. 5 Tahun 1960,
kedua, TAP MPR No. 9 Tahun 2001 tentang Harmonisasi Regulasi Sektor Agraria.
Seharusnya pada 2004 ketika pertama kalinya pemerintahan Presiden SBY, melihat
kebijakan agraria dengan dua hal itu. Tetapi justru terjadi sebaliknya,
sehingga kebijakan yang ia buat semuanya melenceng.
Bisa dilihat dari UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Minerba, yang
kesemuanya berkaitan dengan agraria. Semua kebijakan pada zaman SBY lebih
banyak memberikan keuntungan pada korporasi ketimbang masyarakat adat yang
berada di sekitar hutan, ini tentu menimbulkan konflik.
Terlebih dengan dibuatnya juga Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
di Indonesia (MP3I), yang membagi wilayah menjadi enam koridor, itu justru
menciptakan pengkotakan dengan membagi-bagi wilayah kepada korporasi. Meskipun
pada era Megawati juga tidak bagus-bagus amat, tetapi pada era SBY ini justru
kebijakan agraria semakin tidak jelas, di mana petani banyak yang dirugikan,
lantaran ada kriminalisasi terhadap petani yang berupaya melawan korporasi.
Satuharapan.com: Apakah
masalah tersebut juga penyebab masalah deforestasi?
Wahyu Wagiman: Yang belum lama ini terjadi, yaitu
disahkannya UU Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan (P3H). Tetapi
ketika diimplementasikan, justru lebih banyak menangkap dan menjadikan
petani-petani yang mengelola hutan sebagai tersangka dan kriminal, dibandingkan
dengan pengusaha yang mengambil hasil hutan secara besar-besaran.
Misalnya di Indramayu, Jawa Barat, Pak Wakih, petani yang berkonflik dengan
Perhutani, konflik di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, Sumatra, di Sodong,
Mesuji, Sumatera Selatan lahan seluas 600 hektar, di Ketapang, Kalimantan Barat
lahan yang berkonflik seluas 400 hektar yang diambil alih perusahaan
perkebunan.
Itu akibat kebijakan agraria yang dibuat di zaman SBY. Korporasi berani
mengambil alih lahan/ hutan lindung/ hutan masyarakat karena diberikan ruang
dari kebijakan pemerintah. Meskipun ada UU Kehutanan, UU Minerba, UU
Perkebunan, tetapi semua memberikan kesempatan kepada korporasi untuk
mengekspliotasi.
Satuharapan.com: Jika
diperhitungkan, berapa besar kerugian yang ditimbulkan dari kebijakan seperti
itu?
Wahyu Wagiman: Kasus terakhir yang kita tangani di
Blitar, Jawa Timur, tukar guling antara PT Perhutani dengan PT Holcim
Indonesia. Meskipun tanahnya hanya seluas 720 hektar, tetapi ditinggali oleh
1.500 KK, yang jika mengelola lahannya sendiri, bisa mendapatkan pemasukan
rata-rata Rp 25-50 juta per KK tiap bulannya.
Tetapi jika lahan itu diberikan kepada korporasi, yang terjadi adalah
kerugian seperti yang sudah dijelaskan tadi. Korporasi hanya mengeksploitasi
lahan baik berupa hasil hutan maupun tambang untuk keuntungan satu orang saja,
tetapi tidak memberikan keuntungan lebih kepada negara bahkan masyarakat adat.
Satuharapan.com: Dampak
sosialnya apa?
Wahyu Wagiman: Pertama, setelah kehilangan
tanahnya, mereka akan menjadi buruh, di mana ketika mereka menjadi buruh,
otomatis derajat kehidupannya turun dari penguasa lahan menjadi buruh atau
pekerja, penghasilannya pun akan banyak berkurang. Ketika tingkat kesejahteraan
mereka turun, berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, anak
mereka kemungkinan tidak bisa sekolah. Ketika anak-anaknya tidak bisa sekolah,
mereka akan menjadi buruh seperti bapaknya.
Sekalipun mereka pergi ke kota, mereka pasti akan menjadi pekerja informal,
atau kuli bangunan. Sedangkan bagi perempuan ada yang sampai menjadi pekerja
rumah tangga (PRT) ke luar negeri, bahkan pada beberapa kasus terjadi
perdagangan manusia (human trafficking), itu banyak terjadi di
Kalimantan, wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Jika kita tinjau ke belakang, semua masalah itu ada kaitannya dengan
kebijakan agraria yang salah dari pemerintahan SBY.
Satuharapan.com: Berarti
kebijakan agraria yang salah bisa menjadi penyebab utama urbanisasi di kota
besar?
Wahyu Wagiman: Ketika masyarakat pedesaan
kehilangan lahan beserta sumber daya alamnya, mereka akan pindah ke kota,
mencari peruntungan di kota, itu yang otomatis dilakukan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Semua orang yang kehilangan kesempatan di
pedesaan, akan lari ke kota mencari peruntungan, meskipun mereka tidak memiliki
keahlian atau keterampilan untuk bersaing dengan masyarakat kota, katakanlah
dari segi pendidikan orang desa yang rata-rata hanya SD, SMP, sedangkan di
kota, banyak lulusan universitas.
Kita bisa lihat kebijakan Pemprov DKI misalnya menyediakan rusun murah,
kesehatan gratis, pendidikan untuk warga miskin di Jakarta, yang mungkin saja
itu adalah warga luar daerah yang tersingkir, atau lahannya diambil alih oleh
korporasi. Kebijakan itu sebenarnya itu bukan mengatasi, tetapi lebih kepada
mengobati. Lantaran sudah terjadi akumulasi masalah, sehingga harus diberikan
stimulus.
Sebenarnya penyelesaian konflik agraria ini butuh penyelesaian antar
pemerintah daerah, bahkan kementerian harus bisa melakukan sinkronisasi
regulasi di kementerian pertanian, kehutanan, pertambangan, perumahan, dan
lingkungan hidup. Selama ini, kementerian tersebut berjalan sendiri-sendiri,
padahal, semuanya saling terkait ketika itu berbicara konflik agraria.
Satuharapan.com: Terkait
Pemilu 2014, adakah kandidat yang bisa menyelesaikan masalah tersebut?
Wahyu Wagiman: Hal yang perlu kita lihat adalah
kemampuan kandidat untuk mengkoreksi semua kebijakan yang telah terbentuk pada
zaman SBY dan Megawati dalam sektor agraria. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU
Minerba, UU Migas, UU Penanaman Modal, seharusnya ditinjau ulang. Pertanyaannya
apakah ada capres dan cawapres yang mampu menjanjikan dan merealisasikan untuk
meninjau ulang semua regulasi terkait sektor agraria?
Satuharapan.com: Berarti
masyarakat masih harus skeptis terhadap kandidat yang concern terhadap sektor
agraria?
Wahyu Wagiman: Prabowo mungkin pernah menjanjikan penyelesaian masalah agraria. Tetapi,
kita bisa lihat di belakang dia, berapa banyak perusahaan tambang yang ia atau
keluarganya kuasai. Pasalnya, arah kebijakan yang ia buat tentunya akan
berkaitan dengan aset-aset yang ia miliki.
Sedangkan Jokowi terlihat lebih merakyat, terlepas dari
kepentingan-kepentingan bisnis kelompoknya. Ia dianggap lebih bisa mendengar
aspirasi masyarakat bawah. Tetapi ia juga harus bisa mengendalikan Jusuf Kalla
yang anak perusahaannya juga banyak. Ketika Jokowi tidak bisa mengendalikan
kelompok pendukungnya, itu menjadi pertentangan tersendiri dalam reformasi
regulasi sektor agraria.
Kalau Prabowo atau Jokowi bisa menawarkan alternatif penyelesaian konflik
sektor agraria yang paling menguntungkan bagi masyarakat, memberikan kesempatan
kepada masyarakat mengelola hutan, tidak melulu harus korporasi yang
diuntungkan.
Itu bisa terjadi dengan mengembalikan mandat pengelolaan agraria sesuai dengan
Pasal 33 UU 1945. Pasal itu berkaitan dengan sumber daya alam, di mana
pemerintah harus bisa mengembalikan apa yang selama ini lebih banyak
diselewengkan, terutama terjadi sejak zaman Presiden Soeharto, yang dilanjutkan
zaman Megawati sampai yang lebih parah era SBY.
Satuharapan.com: Apa solusi
terbaik menurut anda?
Wahyu Wagiman: Kondisi sekarang bisa kita lihat
ketika ada kebijakan subsidi pupuk, subsidi alat-alat pertanian, apakah itu
diberikan dengan layak oleh pemerintah, atau entah tersangkut di mana uang
subsidi tersebut. Kemungkinan besar ada permainan dinas terkait yang bekerja
sama dengan perusahaan besar penyedia alat-alat pertanian tersebut, jadi
manfaat dari subsidi tidak diterima sepenuhnya oleh petani.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang memberikan kesempatan lebih besar
terhadap pembangunan pertanian di pedesaan, seperti memberikan insentif,
bantuan, sampai pelatihan. Misalnya jika ada salah satu kandidat capres yang
berjanji memberikan Rp 1 miliar untuk pertanian di satu desa, tetapi tidak bisa
seperti itu juga. Ibaratnya, jangan memberikan ikan, tetapi berikanlah kail,
yang dibutuhkan masyarakat bukan hasil, tetapi alat untuk berkembang.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar