Minggu, 06 Juli 2014

Perekonomian Indonesia Pada Tahun 2014

Sekilas Ekonomi Indonesia 2014 

Kondisi Ekonomi Global

Tahun 2014 merupakan tahun pemulihan dan stabilisasi ekonomi akibat fenomena kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 serta krisis Eropa di Yunani pada tahun 2012. Untuk mengatasi fenomena krisis yang menimbulkan kepanikan pasar finansial global khususnya di Eropa dan AS tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan ekonomi yang tidak lazim yakni kebijakan Quantitative Easing. QE adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara guna meningkatkan jumlah uang beredar (money supply) di pasar. Kebijakan ini dilakukan antara lain dengan memangkas bunga menjadi 0,25% bahkan 0,1%, mencetak uang lebih banyak, serta dengan menyuntikkan likuiditas kepada Emerging Markets (EM). Kebijakan QE tersebut menyebabkan kelebihan likuiditas yang membuat pasar Amerika tidak dapat menyerap uang yang beredar. Hal tersebut membuat para investor lebih tertarik untuk mengalihkan dananya dari negara maju ke negara Emerging Markets (EM) sehingga menimbulkan euforia sementara kepada negara-negara EM yang kebanyakan adalah negara berkembang. 
Akan tetapi, selama periode 2008-2012, stimulus moneter QE yang diharapkan akan mendorong aktivitas perekonomian tersebut justru membawa efek samping, yakni menimbulkan dampak spekulatif (search for yield) dimana investor keluar dari aset finansial dgn yield rendah (mata uang, obligasi) ke aset yang lebih spekulatif (saham, HY bonds, komoditas, dsb.) serta menimbulkan fear effect yakni ketakutan akan inflasi yang mendorong investor ritel beralih ke aset riil (emas, properti, dsb.). Dampak ketiga yang ditimbulkan QE adalah dampak crypto-currency termasuk bitcoin yang merupakan peningkatan permintaan akan aset serupa uang yang aman dari manipulasi bank sentral.Akan tetapi, diluar semua efek samping spekulan tersebut, quantitative easing tetap berjasa membawa pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari angka minus 2,6% (2009) menjadi positif 1,7% (2013). Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi dunia juga mulai membaik dari angka minus 0,7% (2009) menjadipositif 2,7% (2013).
Kebijakan Quantitative Easing yang dirasa cukup berhasil memulihkan ekonomi global tersebut ditakutkan hanyalah pemulihan semu (liquidity traps) bagi ekonomi dunia, yakni semakin tergantungnya negara-negara EM terhadap pinjaman dana negara asing dengan bunga rendah dan ditakutkan skenario krisis ekonomi dunia akan berulang. Selain itu, kebijakan debt ceiling (pembatasan hutang) per 7 Februari 2014 juga menimbulkan tantangan lain. Ancaman krisis seperti yang terjadi di Eropa pada tahun 2007 lalu juga membayangi Prancis dengan indikator perekonomian yang tumbuh lamban serta tingginya pengangguran (12,1%) per Oktober 2013. Adanya deflationary environment (turunnya inflasi sebesar 0,6%) membuat masyarakat Eropa semakin menunda pembelian barang dan dikhawatirkan akan semakin menurunkan aktivitas ekonomi. Masalah di negara China juga membawa tantangan global tersendiri. Antara lain dengan rencana kenaikan pajak di China per April 2014, lemahnya konsumsi, lambatnya pertumbuhan ekonomi, tumpukan utang pemda, aktivitas shadow banking, krisis likuiditas perbankan, serta bubble property di beberapa wilayah China bagian Timur. Di wilayah India, juga memiliki masalah ekonomi yang hampir serupa dengan Indonesia, yakni maraknya serangan spekulan. Inflasi yang terjadi di India sangat tinggi, yaitu 11,5% dengan defisit transaksi berjalan di atas 4,2% terhadap PDB per September 2013.
Oleh karena itu, pada pertengahan tahun 2013, ketika ekonomi AS dan dunia mulai membaik, angka pengangguran menurun menjadi 6,7% serta angka inflasi yang rendah yaitu 1,5%, mendorong FED melakukan tapering setahap demi setahap. Tapering dilakukan dengan mengurangi suntikan likuiditas sebesar US$ 10 M/ bulan sehingga menimbulkan dana mengalir keluar dari EM menuju negara maju sebesar US$ 7,8 M untuk ekuitas dan US $ 2,0 M untuk obligasi (per Agustus 2013)karena investor khawatir akan terjadi colapse di negara EM. Mulai bulan Januari 2014, QE akan dikurangi setiap bulan sebesar 10 M hingga pada akhir tahun 2014 akan menjadi 0. Meskipun secara global IMF memprediksikan dengan adanya tapering akan semakin memulihkan ekonomi negara maju sehingga prognosa pertumbuhan ekonomi global meningkat dari angka 2,9% (2013) menjadi 3,6% (2014), tetap ada beberapa negara yang merasakan dampak atas financial outflow tersebut, khususnya negara-negara EM sehingga suntikan dana investasi luar negeri menjadi berkurang. Negara yang merasakan dampak langsung atas adanya tapering ini antara lain Indonesia, India, dan Brazil.
Isu revolusi shale gas di Amerika Serikat cukup menimbulkan keresahan bagi negara-negara Emerging Markets (EM). AS telah menemukan sebuah teknologi baru pengeboran minyak yaitu teknologi fracking dimana pengeboran tersebut bisa menembus bebatuan keras sehingga produksi minyak yang dihasilkan AS akan jauh lebih meningkat. Pada tahun 2030, AS diperkirakan akan menjadi negara net exportir minyak mengalahkan Arab Saudi. Teknologi tersebut tentu saja akan ditiru oleh negara-negara lainnya sehingga supply energi dunia (minyak dan batu bara) akan semakin melimpah dan harga minyak bumi & komoditas lainnya akan semakin anjlok. Bagi negara-negara pengekspor komoditas, tentu saja hal tersebut akan menjadi pukulan telak karena nilai ekspor akan semakin menurun dengan menurunnya harga komoditas. Pada akhirnya akan berdampak pada neraca perdagangan negara pengekspor komoditas serta dapat menyebabkan defisit neraca perdagangan yang semakin besar jika tidak diambil langkah pengamanan lebih lanjut.

Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Perekonomian Indonesia memiliki kasus yang hampir mirip dengan negara India, yaitu maraknya serangan spekulan serta defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan pada tahun 2013 telah mencapai angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi dan konsumsi/impor dapat ditekan untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit neraca tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1997.Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu berubahnya negara Indonesia menjadi negara net oil importir sejak tahun 2003 setelah dulunya Indonesia adalah negara net oil exportir. Alasan kedua adalah sebelum terjadinya krisis moneter, setiap kali terjadi defisit, negara Indonesia selalu di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai negara menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Kini, dengan adanya kedua faktor tersebut, Indonesia semakin tertekan. Ditambah dengan hasil ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi, serta meningkatnya subsidi.
Kondisi defisit neraca perdagangan tersebut diperparah dengan berubahnya life style masyarakat Indonesia. Terlebih saat periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate di Indonesia, tingkat konsumsi semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat yang mengambil kredit untuk barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang konsumsi kita (misal alat-alat elektronik, makanan di restoran, pakaian, dsb.) adalah barang impor. Jika konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara Indonesia tidak akan sanggup mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya defisit neraca perdagangan akan semakin besar.
Sebenarnya Indonesia pernah mengalami masa kejayaan setelah mengalami keterpurukan akibat krisis moneter tahun 1997-1998. Jika Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke belakang (2008-2012), dapat dikatakan bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun penuh kelimpahan (5 years of plenty). PDB kita terus menguat dari 6,0% menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5% menjadi 5,75%, dan menguatnya Rupiah. Kondisi kejayaan tersebut disebabkan oleh booming-nya komoditas Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga hasil ekspor tinggi) serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan tetapi, dengan tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan infrastruktur, produktivitas, serta pasar tenaga kerja, menyebabkan kondisi kelimpahan tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB yang terus menurun menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% semakin menambah beban negara. Lalu bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/ reformasi pemerintahan yang baru tidak segera mengambil langkah preventif?Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi shale gas Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.
Menengok kondisi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan menurun dibandingkan lima tahun lalu, serta kekhawatiran akan kondisi masa depan, maka perancangan sistematis pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami kebingungan arah pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri alat-alat berat awal mulanya dibangun sehingga sesuai prediksi, akhirnya industri elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth Mark).
Kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut memang membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tahun 2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor 2 di dunia setelah Argentina dan Peso.

Langkah Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Setelah sejenak kita melihat perbandingan pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI, bagaimanapun juga, ekspor Indonesia tidak akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh prospektus revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didapatkan bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit sebesar 0,2%.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan konsumsi barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah berkisar di antara level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level Rp8.500,-. Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan BI adalah penurunan jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan prediksi pertumbuhan kredit yang digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun 2014 ini, BI menurunkan prediksi pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing.
Selain itu, kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini tentu saja mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base 5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa faktor utama yang memperburuk perekonomian Indonesia adalah belum jelasnya aturan mengenai daftar negara yang boleh dan tidak boleh berinvestasi di Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst. membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja yang berpindah ke kota serta memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat akibat meningkatnya pengangguran.
Akan tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi Indonesiasebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun 2014, diharapkan diakhir tahun 2014 perekonomian Indonesia akan membaik. Setidaknya hal tersebut tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta membawa harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat dihindari.
Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan adanya wacana subsidi BBM yang tetap sehingga risiko fiskal menjadi rendah, mampu menambah rating Indonesia di mata investor.
Akhirnya, dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya, analis ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,2% dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8% dari angka 5,6%. Salah satu penyebab utama peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2% tersebut adalah adanya katalis Pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya konsumsi besar-besaran.

Daftar Pustaka : 

Kebijakan Agraria Era SBY

Implementasi Kebijakan Agraria Era SBY Salah
  Ilustrasi kondisi hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. (Foto: mongabay.co.id) 
 
      JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Deputi Direktur Pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk Keadilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyu Wagiman, menilai selama dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan agraria yang dibuat lebih berpihak pada korporasi ketimbang masyarakat adat yang sebenarnya lebih berhak mengelola lahan.

     Kebijakan agraria, meskipun ada peraturannya secara tertulis, namun dalam pengimplementasiannya, banyak sekali konflik yang terjadi. Bukan hanya dampak bagi perekonomian masyarakat adat, bahkan timbul masalah sosial dan hukum, di mana banyak petani yang sebenarnya ingin mempertahankan haknya terhadap lahan mereka, justru dikriminalisasi oleh korporasi.
    
    Ditemui dalam acara Seri Kuliah Hak Asasi Manusia “Arah dan Kecenderungan Konstelasi Politik Pasca Pemilu” di JS Luwansa Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/5), dengan melihat ke belakang terhadap kebijakan tersebut, Wahyu menegaskan bahwa kebijakan agraria yang dibuat pada era pemerintahan SBY adalah lebih buruk.

Berikut wawancara satuharapan.com dengan pengacara kepentingan publik lulusan UGM itu.

Satuharapan.com: Bagaimana kinerja eksekutif selama 10 tahun terakhir dalam implementasi kebijakan agraria? 
Wahyu Wagiman: Ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, Undang-undang (UU) Pengelolaan Agraria No. 5 Tahun 1960, kedua, TAP MPR No. 9 Tahun 2001 tentang Harmonisasi Regulasi Sektor Agraria. Seharusnya pada 2004 ketika pertama kalinya pemerintahan Presiden SBY, melihat kebijakan agraria dengan dua hal itu. Tetapi justru terjadi sebaliknya, sehingga kebijakan yang ia buat semuanya melenceng.
Bisa dilihat dari UU Penanaman Modal, UU Perkebunan, UU Minerba, yang kesemuanya berkaitan dengan agraria. Semua kebijakan pada zaman SBY lebih banyak memberikan keuntungan pada korporasi ketimbang masyarakat adat yang berada di sekitar hutan, ini tentu menimbulkan konflik.
Terlebih dengan dibuatnya juga Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi di Indonesia (MP3I), yang membagi wilayah menjadi enam koridor, itu justru menciptakan pengkotakan dengan membagi-bagi wilayah kepada korporasi. Meskipun pada era Megawati juga tidak bagus-bagus amat, tetapi pada era SBY ini justru kebijakan agraria semakin tidak jelas, di mana petani banyak yang dirugikan, lantaran ada kriminalisasi terhadap petani yang berupaya melawan korporasi.

Satuharapan.com: Apakah masalah tersebut juga penyebab masalah deforestasi?
Wahyu Wagiman: Yang belum lama ini terjadi, yaitu disahkannya UU Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan (P3H). Tetapi ketika diimplementasikan, justru lebih banyak menangkap dan menjadikan petani-petani yang mengelola hutan sebagai tersangka dan kriminal, dibandingkan dengan pengusaha yang mengambil hasil hutan secara besar-besaran.
Misalnya di Indramayu, Jawa Barat, Pak Wakih, petani yang berkonflik dengan Perhutani, konflik di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, Sumatra, di Sodong, Mesuji, Sumatera Selatan lahan seluas 600 hektar, di Ketapang, Kalimantan Barat lahan yang berkonflik seluas 400 hektar yang diambil alih perusahaan perkebunan.
Itu akibat kebijakan agraria yang dibuat di zaman SBY. Korporasi berani mengambil alih lahan/ hutan lindung/ hutan masyarakat karena diberikan ruang dari kebijakan pemerintah. Meskipun ada UU Kehutanan, UU Minerba, UU Perkebunan, tetapi semua memberikan kesempatan kepada korporasi untuk mengekspliotasi.

Satuharapan.com: Jika diperhitungkan, berapa besar kerugian yang ditimbulkan dari kebijakan seperti itu?
Wahyu Wagiman: Kasus terakhir yang kita tangani di Blitar, Jawa Timur, tukar guling antara PT Perhutani dengan PT Holcim Indonesia. Meskipun tanahnya hanya seluas 720 hektar, tetapi ditinggali oleh 1.500 KK, yang jika mengelola lahannya sendiri, bisa mendapatkan pemasukan rata-rata Rp 25-50 juta per KK tiap bulannya.
Tetapi jika lahan itu diberikan kepada korporasi, yang terjadi adalah kerugian seperti yang sudah dijelaskan tadi. Korporasi hanya mengeksploitasi lahan baik berupa hasil hutan maupun tambang untuk keuntungan satu orang saja, tetapi tidak memberikan keuntungan lebih kepada negara bahkan masyarakat adat.

Satuharapan.com: Dampak sosialnya apa?
Wahyu Wagiman: Pertama, setelah kehilangan tanahnya, mereka akan menjadi buruh, di mana ketika mereka menjadi buruh, otomatis derajat kehidupannya turun dari penguasa lahan menjadi buruh atau pekerja, penghasilannya pun akan banyak berkurang. Ketika tingkat kesejahteraan mereka turun, berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, anak mereka kemungkinan tidak bisa sekolah. Ketika anak-anaknya tidak bisa sekolah, mereka akan menjadi buruh seperti bapaknya.
Sekalipun mereka pergi ke kota, mereka pasti akan menjadi pekerja informal, atau kuli bangunan. Sedangkan bagi perempuan ada yang sampai menjadi pekerja rumah tangga (PRT) ke luar negeri, bahkan pada beberapa kasus terjadi perdagangan manusia (human trafficking), itu banyak terjadi di Kalimantan, wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Jika kita tinjau ke belakang, semua masalah itu ada kaitannya dengan kebijakan agraria yang salah dari pemerintahan SBY.

Satuharapan.com: Berarti kebijakan agraria yang salah bisa menjadi penyebab utama urbanisasi di kota besar?
Wahyu Wagiman: Ketika masyarakat pedesaan kehilangan lahan beserta sumber daya alamnya, mereka akan pindah ke kota, mencari peruntungan di kota, itu yang otomatis dilakukan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Semua orang yang kehilangan kesempatan di pedesaan, akan lari ke kota mencari peruntungan, meskipun mereka tidak memiliki keahlian atau keterampilan untuk bersaing dengan masyarakat kota, katakanlah dari segi pendidikan orang desa yang rata-rata hanya SD, SMP, sedangkan di kota, banyak lulusan universitas.
Kita bisa lihat kebijakan Pemprov DKI misalnya menyediakan rusun murah, kesehatan gratis, pendidikan untuk warga miskin di Jakarta, yang mungkin saja itu adalah warga luar daerah yang tersingkir, atau lahannya diambil alih oleh korporasi. Kebijakan itu sebenarnya itu bukan mengatasi, tetapi lebih kepada mengobati. Lantaran sudah terjadi akumulasi masalah, sehingga harus diberikan stimulus.
Sebenarnya penyelesaian konflik agraria ini butuh penyelesaian antar pemerintah daerah, bahkan kementerian harus bisa melakukan sinkronisasi regulasi di kementerian pertanian, kehutanan, pertambangan, perumahan, dan lingkungan hidup. Selama ini, kementerian tersebut berjalan sendiri-sendiri, padahal, semuanya saling terkait ketika itu berbicara konflik agraria.

Satuharapan.com: Terkait Pemilu 2014, adakah kandidat yang bisa menyelesaikan masalah tersebut?
Wahyu Wagiman: Hal yang perlu kita lihat adalah kemampuan kandidat untuk mengkoreksi semua kebijakan yang telah terbentuk pada zaman SBY dan Megawati dalam sektor agraria. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Migas, UU Penanaman Modal, seharusnya ditinjau ulang. Pertanyaannya apakah ada capres dan cawapres yang mampu menjanjikan dan merealisasikan untuk meninjau ulang semua regulasi terkait sektor agraria?

Satuharapan.com: Berarti masyarakat masih harus skeptis terhadap kandidat yang concern terhadap sektor agraria?  
Wahyu Wagiman: Prabowo mungkin pernah menjanjikan penyelesaian masalah agraria. Tetapi, kita bisa lihat di belakang dia, berapa banyak perusahaan tambang yang ia atau keluarganya kuasai. Pasalnya, arah kebijakan yang ia buat tentunya akan berkaitan dengan aset-aset yang ia miliki.
Sedangkan Jokowi terlihat lebih merakyat, terlepas dari kepentingan-kepentingan bisnis kelompoknya. Ia dianggap lebih bisa mendengar aspirasi masyarakat bawah. Tetapi ia juga harus bisa mengendalikan Jusuf Kalla yang anak perusahaannya juga banyak. Ketika Jokowi tidak bisa mengendalikan kelompok pendukungnya, itu menjadi pertentangan tersendiri dalam reformasi regulasi sektor agraria.
Kalau Prabowo atau Jokowi bisa menawarkan alternatif penyelesaian konflik sektor agraria yang paling menguntungkan bagi masyarakat, memberikan kesempatan kepada masyarakat mengelola hutan, tidak melulu harus korporasi yang diuntungkan.
Itu bisa terjadi dengan mengembalikan mandat pengelolaan agraria sesuai dengan Pasal 33 UU 1945. Pasal itu berkaitan dengan sumber daya alam, di mana pemerintah harus bisa mengembalikan apa yang selama ini lebih banyak diselewengkan, terutama terjadi sejak zaman Presiden Soeharto, yang dilanjutkan zaman Megawati sampai yang lebih parah era SBY.

Satuharapan.com: Apa solusi terbaik menurut anda?
Wahyu Wagiman: Kondisi sekarang bisa kita lihat ketika ada kebijakan subsidi pupuk, subsidi alat-alat pertanian, apakah itu diberikan dengan layak oleh pemerintah, atau entah tersangkut di mana uang subsidi tersebut. Kemungkinan besar ada permainan dinas terkait yang bekerja sama dengan perusahaan besar penyedia alat-alat pertanian tersebut, jadi manfaat dari subsidi tidak diterima sepenuhnya oleh petani.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang memberikan kesempatan lebih besar terhadap pembangunan pertanian di pedesaan, seperti memberikan insentif, bantuan, sampai pelatihan. Misalnya jika ada salah satu kandidat capres yang berjanji memberikan Rp 1 miliar untuk pertanian di satu desa, tetapi tidak bisa seperti itu juga. Ibaratnya, jangan memberikan ikan, tetapi berikanlah kail, yang dibutuhkan masyarakat bukan hasil, tetapi alat untuk berkembang.

Daftar Pustaka :


Kebijakan yang Menguatkan Monopoli Pemodal

Di akhir masa pemerintahan; SBY mengeluarkan kebijakan yang menguatkan monopoli pemodal (asing) atas SDA dan hajat hidup orang banyak.

(Protes atas diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2014)

      Pada 23 April 2014, SBY telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden No.39 tahun 2014. Perpres ini mengatur tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Perpres ini mengatur ketentuan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang dapat menjadi bidang penanaman modal (asing) termasuk seberapa besar porsi penguasaannya dalam bidang usaha tersebut. Keluarnya Perpres ini menimbulkan pertanyaan besar terkait argumentasi logis yang mendasari pemberlakuannya.
     
     Gunawan selaku perwakilan IHCS menerangkan, “argumentasi dasar dikeluarkannya Perpres ini menimbulkan pertanyaan, apalagi dikeluarkan di masa akhir pemrintahan SBY. Arah Perpres ini juga tidak jelas jika dihubungkan dengan kepentingan rakyat. Seolah hanya menjadi peluang keuntungan bagi pemodal. Kriteria dan persyaratan  bidang usaha terlalu luas dan banyak unsur-unsur yang subjektif di dalamnya. Sebagai contoh, dalam UU PMA, persayaratan pembangunan usaha  memperhatikan aspek tata ruang, lingkungan, dll. Dalam Perpres ini hanya mempertimbangkan  lokasi bidang usaha sebagai persyaratan utama. Hal ini sangat memungkinkan penanaman modal asing, namun tidak mempertimbangkan aspek yang lain.”
  
     Perpres 39 tahun 2014, sedikitnya mengatur 15 bidang urusan kementerian yang terbuka lebar untuk penetrasi modal luar negri. Yang mencengangkan, tidak hanya sektor ril seperti energi, SDA, pelayanan kesehatan yang semestinya diproteksi oleh Negara agar penyelenggaraanya diutamakan untuk kepentingan rakyat. Tetapi, sektor kelola rakyat seperti pertanian pangan yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang dikelola rakyat secara mandiri, kini akan berhadapan dengan kekuatan modal asing. Dengan begitu, petani berlahan sempit akan berisiko tinggi meninggalkan lahan pertaniannya yang saat ini sedang mengalami persoalan pada pemenuhan input pertanian yang tak terjangkau, akan menjadi buruh di lahan pertanian pangan yang berada di desa-desa yang dikelola dengan mekanisme perusahaan yang sudah tentu berorientasi profit.

     Beberapa kalangan juga menganalisis tentang adanya skenario yang kuat dalam memuluskan kepentingan pemodal (asing) dalam monopoli SDA dan pengelolaan sektor-sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak melalui Perpres no.39 tahun 2014. Perwakilan Gabungan Asosiasi Petani Indonesia (GAPI), Yakub mengungkapkan, “setelah pemberlakuan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2007, Perpres 39 tahun 2014 akan membuka  ruang  seluas-luasnya bagi investor asing untuk usaha bidang perkebunan dan pertanian yang tentunya berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Skema ini akan membuat ketergantungan pengusaha kecil/menegah dan petani (rakyat) kepada investor yang lebih besar ataupun investor asing. Apalagi, praktek usaha di Indonesia sejauh ini sangat lemah dalam melindungi usaha kecil/menengah ataupun perlindungan terhadap petani. Di sisi lain, Perpres ini memberikan peluang penguasaan usaha bagi pemodal asing hingga 95%.”

     Perpres ini disimpulkan sebagai bagian dari skenario monopoli kapital global yang berjalan di Indonesia dan telah diberlakukan dalam masa pemerintahan SBY, seperti; Agreement on Agriculture (AoA) paket WTO di Bali, pembangunan konektifitas area dan infrastruktur ala MP3EI, kerjasama sektor pertanian, infrastruktur, dan pajak dalam pertemuan G20. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI menegaskan, “di Indonesia, pengelolaan SDA dan sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat sangat bergantung dengan sistem ekonomi politik yang saat ini sedang berjalan. Perpres no.39 tahun 2014 yang keluar di masa injury time pemerintahan SBY hanya menyempurnakan skenario yang sudah ada. Kita patut waspada karena Perpres ini tidak menempatkan aspek keberlanjutan ekologis sebagai persyaratan utama dalam bidang usaha yang dimaksud. Di sisi lain, investor asing memiliki peluang monopoli usaha dan menciptakan ketergantungan bagi petani/pekebun di Indonesia. Mereka bisa saja mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dan mengabaikan keberlanjutan ekologis.”

      Berdasarkan Perpres ini, untuk bidang usaha perkebunan tanpa unit pengolahan dengan luas 25 Ha atau lebih, penanaman modal asing diizinkan sampai maksimal 95 persen dengan rekomendasi Menteri Pertanian untuk perkebunan Jarak Pagar, Pemanis lainnya, Tebu, Tembakau, Bahan Baku Tekstil, Tanaman Kapas, Perkebunan Jambu Mete, Kelapa, Kelapa Sawit, Perkebunan untuk bahan makanan (Teh, Kopi, dan Kakao), Lada, Cengkeh, Minyak Atsiri, Perkebunan Rempah, dan Perkebunan Karet/Penghasil Getah lainnya. Selain itu, dalam Perpres ini terdapat ruh yang sangat bertentangan dengan prinsip memajukan kepentingan rakyat (negara).

     Menanggapi hal ini, Yayan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga angkat bicara, “kita tidak bisa melepaskan kehadiran Perpres ini dengan keadaan yang ada sekarang, di berbagai wilayah di Indonesia telah terjadi begitu banyak konflik agraria akibat lemahnya perlindungan negara kepada rakyat dalam pengelolaan SDA.  Kita tidak ingin kehadiran Perpres 39 2014 menambah rentetan konflik akibat ketidakadilan pemanfaatan sumber-sumber agraria karena dikuasai oleh segelintir orang (pemodal). Harus ada tindakan konkrit untuk membatalkan Perpres ini.”

     Perpres ini keluar di akhir masa pemerintahan SBY, yang tentunya akan menjadi berita buruk bagi masyarakat Indonesia. “persoalan ini mesti segera dikampanyekan kepada masyarakat luas dan mendesak Presiden agar segera mencabutnya. Upaya hukum juga dapat ditempuh untuk membatalkan Perpres ini. Jika tidak berhasil, maka harus dipastikan Perpres ini mesti menjadi agenda politik yang akan dikerjakan oleh Presiden yang baru,” tegas Kurniawan Sabar.

Daftar Pustaka :

Jumat, 04 Juli 2014

Tulisan - Krisis Ekonomi 1998

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
 
Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak Terlupakan

     TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.

     Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.

     Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.

    Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.

    Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.

    Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.

Efek bola salju

    Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

     Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.

    Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

    Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

    Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.

    Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.

    Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

    Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.

    Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

    Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

    Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.

    Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

    Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.

   Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Anomali

    Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.

    Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

   Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.

   Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

   Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.

   Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*


LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Era Bank-bank 

     INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.

    Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.

    Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.

    Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.

   Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.

    Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.

    Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

   Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.

    Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.

    Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk dipenuhi.

**

   SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.

    Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.

   Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.

    Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.

   Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.

***

     Di tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.

   Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.

   Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan.

    Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.

    Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.

    Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).

    Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus modal masuk itu.

    Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.


LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik

     PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.

    Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.

    Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.

    Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.

    Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.

***

     MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.

    Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang.

     Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.

     Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.

     Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.

     Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia.

    Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.

     Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.

     Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.

     Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular


     RUPIAH pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?

    Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.

     Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.

     Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.

     Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.

***
     MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.



     Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.

     Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.

      Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.

      Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya perekonomian.

     Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.

     Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.

***

    SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai pupus.

     Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.

     Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.

     Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.

   Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.

   Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.

   Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.*
 
Daftar Pustaka :